Disfungsi Uterus Hipotonik

Definisi Disfungsi Uterus Hipotonik

Inersia uteri hipotonis adalah his yang sifatnya lemah, lebih singkat dan lebih jarang dibandingkan dengan his yang normal (Sinopsis Obstetri, 1998).

Uterus hipotonik menandakan berkurangnya dan / atau melambatnya dari intensitas normal dan durasi kontraksi uterus. Hal ini akan menyebabkan perlambatan dalam kemajuan persalinan dan akan mengakibatkan persalinan lama.

Disini his bersifat biasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi lebih kuat dan lebih dulu dibandingkan dengan bagian – bagian lain, peranan fundus tetap menonjol. Kelainan terletak dalam hal kontraksi lebih aman, singkat dan jarang daripada biasa. Keadaan umum penderita biasanya baik dan rasa nyeri tidak seberapa. Selama ketuban masih utuh umumnya tidak berbahaya, baik bagi ibu maupun janin, kecuali persalinan berlangsung lama; dalam hal terakhirnini mordibilitas ibu dan mortalitas janin baik.

Pada disfungsi uterus hipotonik, kontraksi memilki pola gradient normal (paling besar di fundus dan menurun sampai paling lemah di segmen bawah uterus dan serviks, tetapi  tonus dan intensitasnya sangat buruk (kurang dari 15 mmHg tekanan), tekanan itu sangat sedikit untuk mendilatasi serviks.

Kelompok ahli Montivideo (Caldeyro-Barcia, 1950) memberikan kontribusi yang penting bagi pemahaman terhadap disfungsi uterus. Dengan menyisipkan sebuah kateter polietilen lewat dinding abdomen ke dalam cairan ketuban, mereka yakin bahwa batas bawah tekanan kontraksi yang diperlukan untuk menimbulkan dilatasi serviks adalah 15 mmHg, yaitu angka yang sesuai dengan hasil penemuan Hendricks dkk (1959), yang melaporkan bahwa kontraksi uterus spontan yang normal seringkali menghasilkan tekanan sekitar 60 mmHg.

Pada situasi ini, wanita merasa sangat baik karena ia tidak merasa nyeri dan dapat beristirhat. Namun persalinan memanjang dan meningkatkan risiko distress maternal, perdarahan dan jika ketuban pecah terjadi infeksi intrauterus. Janin biasanya tidak mengalami distress kecuali kondidisi ini terjadi dalam waktu yang lama dan infeksi uterin terjadi.

Tanda dan gejala disfungsi hipotonik uterus adalah:

  1. Riwayat kontraksi saat ini tidak nyeri sekali, persalinan mengalami kemajuan dengan baik sampai fase aktif kala satu persalinan atau kala dua dan kemudian berhenti.
  2. Pemeriksaan fisik uterus, kontraksi tidak sering, durasi singkat dan intensitas ringan.
  3. Pemeriksaan pelvis: tidak ada kemajuan dilatasi serviks atau penurunan janin (stase) karena kontraksi tidak efektif.

Etiologi

Kelainan his terutama ditemukan pada primigravida, khususnya primigravida tua. Pada multipara lebih banyak ditemukan kelainan yang bersifat inersia uteri. Faktor heredtiter mungkin memegang peranan pula dalam kelainan his. Sampai beberapa jauh faktor emosi (ketakutan dan lain-lain) mempengaruhi kelainan his, khususnya inersia uteri, ialah apabila bagian janin tidak berhubungan rapat dengan segmen bawah uterus seperti pada kelainan letak uterus seperti pada kelainan letak janin atau pada disporposi sefalopelvik. Peregangan rahim yang berlebihan pada kehamilan ganda ataupun hidramnion juga dapat merupakan penyebab inersia murni. Akhir ganggguan dalam pembentukan uterus pada masa embrional, misalnya uterus bikornis unikolis, dapat pula mengakibatkan kelainan his. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus kurang lebih separuhnya penyebab inersia uteri tidak diketahui. (Obstetri Williams, 1995)

Pembagian Inersia Uteri

Inersia Uteri dibagi atas 2 keadaan

  •  Inersia uteri primer

a.  Definisi

Kelemahan his timbul sejak dari permulaan persalinan. Hal ini harus dibedakan dengan his pendahuluan yang juga lemah dan kadang-kadang menjadi hilang (false labour). (Sinopsis Obstetri, 1998).

b.  Faktor Predisposisi dan Etiologi

Hipotonik primer otot uterus dapat disebabkan:

1)     Penyebab yang tidak diketahui

2)     Pengaruh sedative atau analgetik

3)     Progesteron dominan sehingga nilai ambang rangsangan oksitosin tubuh makin meningkat

4)     Terdapat distribusi reseptor oksitosin, kurang dari jumlah yang diperlukan.

5)     Terdapat overdistorsi otot uterus sebagai akiibat:

  • Kehamilan ganda
  • Hidramnion
  • janin makrosomia

6)     Bagian terendah belum masuk PAP sehingga tidak dapat merangsang fleksus franckenhousen pada serviks

7)     Gangguan fisiologi ibu hamil

  • Takut untuk melahirkan
  • Tegang menghadapi persalinan

c.  Komplikasi

Dampak hipotonik primer otot uterus terutama berdampak pada kala I persalinan, yaitu:

1)     Fase laten yang memanjang

2)     Tidak terjadi pelunakan serviks

3)     Penurunan kepala sebagian besar tidak berlangsung dengan baik.

4)     Kehamilan serotinus

Inertia Uteri Sekunder

a.  Definisi

Inersia uteri sekunder adalah his yang timbul setelah adanya his yang kuat teratur dan dalam waktu yang sama (Sinopsis Obstetri 1994).

Sekunder hipotonik uteri adalah hipotonia kontraksi otot uterus yang sebelumnya pernah mengalami kontraksi yang adekuat diikuti dengan sekunder atonia karena persalinan obstruktif, sebagai tindakan yang bersifat protektif terhadap kemungkinan komplikasi lebih lanjut.

b.  Faktor Predisposisi

Seorang wanita primigravida dalam persalinan lama dengan cephalo-pelvic disproporsi dan persalinan macet.

c.  Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis sekunder hipotonik kontraksi terus dapat dalam bentuk:

1)  Fase laten memanjang – khususnya akibat distosia serviks

2)  Fase aktif memanjang

3)  Sekunder arrest pada pembukaan serviks

4)  Arrest of descent yang berarti

  • Tidak terdapat penurunan kepala
  • Penurunan kurang dari normal
    • Primigravida kurang dari 1 cm/jam
    • Multigravida kurang dari 2 cm/jam

Penatalaksanaan

Pengkajian lengkap :

  1. Pengkajian kontraksi : frekuensi, durasi, interval, intensitas, dan perubahan dari hasil observasi sebelumnya
  2. Pengkajian kelelahan ibu
  3. Pengkajian kesejahteraan janin
  4. Pengkajian lingkungan ibu; perhatikan adanya stress
  5. Pengkajian presentasi, posisi engangement, dan stasiun
  6. Pengkajian disporposi sefalopelvik: molase, pembentukan kaput, fleksi, sinklitisme/asinklitisme, dan keadekuatan pelvis
  7. Pengkajian kemajuan persalinan: pendataran, dilatasi, dan penurunan bagian presentasi.

Terdapat berbagai pilihan penatalaksanaan untuk wanita yang persalinannya dipersulit oleh distosia uterus hipotonik. Penggunaan pilihan ini bergantung pada apakah parameter lain berada dalam rentang normal. Parameter ini, yang harus dievaluasi sebelum mengimplementasi rencana penatalaksaan, mencakup sebagai berikut:

  1. Kepastian frekuensi jantung janin/tidak ada gawat janin
  2. Cairan amnion yang jernih jika ketuban pecah
  3. Ketuban utuh atau baru saja pecah dan tidak ada tanda dan gejala korioamnionitis
  4. Tidak ada tanda dan gejala kelelahan maternal
  5. Pelvis adekuat:

Penatalaksanaan

  1. Modifikasi lingkungan untuk menurunkan stres pada ibu.
  2. Mengoreksi kelelahan ibu dan dehidrasi dengan istirahat serta asupan cairan.
  3. Berdiskusi dengan wanita untuk mnedeteksi ketakutan yang mendasari atau kekhawatiran, baik terhadap dirinya sendiri maupun yang terkait dengan bayinya dan pelahiran.
  4. Ambulasi
  5. Hidroterapi: shower, mandi rendam, atau saat dalam jacuzzi; tetapi tidak lebih dari 1 sampai 2 jam dalam bak atau jacuzzi jika tidak ada kemajuan.
  6. Enema: tujuan enema harus mempertimbangkan faktor berikut dalam membuat keputusan mengenai penggunaan enema:
    1. Stasiun/ lokasi bagian presentasi: jika bagian presentasi belum masuk ke dalam panggul atau berada di atas spina iskium, terdapat risiko prolaps tali pusat yang mnyertai pengeluaran enema. Risiko berkurang (walaupun masih ada) jika ketuban utuh.
    2. Apakah ketuban pecah: jika ketuban pecah, terdapat peningkatan risiko kemungkinan infeksi intrauterus. Asuhan yang sungguh-sungguh harus dilakukan untuk membersihkan area perineum setelah enema dikeluarkan.
    3. Adanya setiap komplikasi yang akan mengontraindikasikan enema: contohnya mencakup perdarahan per vaginam dengan kecurigaan abrupsio plasenta atau plasenta previa, persalinan prematur, presentasi bokong, preeklampsia berat.
    4. Amniotomi. Jika tindakan ini efektif, peningkatan aktivitas uterus harus terjadi dalam 2 jam.
    5. Stimulasi puting susu.
    6. Stimulasi pitosin jika penatalaksanaan di atas tidak berhasil dalam mencapai kemajuan persalinan